Padang, majalahintrust.com – Pengadilan Negeri Padang angkat bicara terkait dilaporkannya hakim Ferry Hardiansyah oleh Avisenna selaku kuasa hukum tergugat, karena diduga telah melanggar kode etik dalam memimpin sidang perkara perdata Gugatan Sederhana (GS) No 10/Pdt.G.S/2023/PN.Pdg.
Humas Pengadilan Negeri Padang Juandra kepada sejumlah wartawan dalam analisanya meyakini, sebenarnya tidak ada kode etik yang dilanggar oleh Hakim Ferry Hardiansyah dalam memimpin sidang tersebut.
Pasalnya sebut Juandra, menurut yuris prudensi Mahkamah Agung, hakim bisa saja dapat menerapkan asas Ultra Petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono.
“Ini kan baru laporan tentang adanya dugaan. Jadi kemungkinan bisa terbantahkan (pengaduan Avisenna) tentu bisa jika diterapkan asas Ex Aequo Et Bono, dan bisa juga sebaliknya,” ungkapnya.
Seperti diketahui Penerapan Asas Ultra Petita pada Petitum Aequo Et Bono menurut I.P.M Ranuhandoko adalah, penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta.
Adapun pertimbangan hukum MA memutus mengandung Ultra Petita yakni adanya hubungan yang erat satu sama lainnya, hakim dalam menjalankan tugasnya agar aktif dan berusaha memberikan putusan yang menyelesaikan perkara, serta dibenarkan melebihi putusan asalkan masih sesuai dengan kejadian materiil yang diijinkan atau sesuai posita sebagaimana terdapat dalam putusan MARI no 556K/SIP/1971 dan putusan MARI no.425.K/SIP/1975
Selanjutnya putusan berdasarkan petitum subsidair, yang diminta keadilan dan tidak terikat dengan petitum primair, dibenarkan apabila diperoleh putusan yang lebih mendekati rasa keadilan dan asalkan dalam kerangka yang serasi dalam inti petitum primair, sebagaimana terdapat dalam putusan MARI no 140.K/Sip/1971.
Di tempat terpisah, Arnold Eka Putra, SH selaku kuasa hukum penggugat juga mendukung apa yang disampaikan oleh pihak Pengadilan Negeri Padang. Kewenangan hakim dalam memutuskan suatu perkara sangat jelas termaktub dalam Undang-Undang No 48 tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1).
Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Sementara berdasarkan Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dalam perkara ini, hakim sebagai juri menemukan fakta hukum yang terjadi setelah mendengarkan keterangan saksi dan melihat bukti dari para pihak, sehingga diperoleh putusan yang tepat sesuai dengan perkara tersebut.
Harusnya sebut Arnold, kalau memang pihak tergugat merasa tidak sependapat terhadap putusan hakim, ada upaya hukum yang bisa dilakukan Tergugat yaitu upaya keberatan. Apa yang menjadi perbedaan pendapat, sampaikanlah dalam memori keberatan tersebut. Sebaiknya kita menghormati Putusan Hakim yang mengadili perkara tersebut, karena Hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara.
“Jadi laporan yang dilayangkan kuasa hukum tergugat kami nilai masih terlalu prematur dan dini. Salinan putusan saja belum dapat kami unduh dalam ecourt tetapi Penasehat Hukum Tergugat telah membuat laporan ke KY, tanpa melihat dan mempelajari pertimbangan hakim dalam salinan memutus perkara tersebut,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Padang Ferry Hardiansyah SH,MH dilaporkan oleh Avisenna SH kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia Penghubung Wilayah Sumatera Barat, dalam perkara perdata Gugatan Sederhana (GS) No 10/Pdt.G.S/2023/PN.Pdg.
Pasalnya Hakim tersebut diduga kuat telah melakukan sejumlah pelanggaran kode etik dalam mengadili perkara masalah Akta RUPS LB dan Akta Hibah Saham salah satu perusahaan di Kota Padang itu. (Kalid)